• DODOL SINGKONG

    Usaha ini merupakan usaha yang bergerak di bidang Jahe Instan, Bu Ika mengeluarkan modal yang untuk pembelian bahan awal Rp126.100 .Harga Yang dijual Pada konsumen akhir adalah Rp 10.000/bungkus.

  • JAHE INSTAN

    Usaha ini merupakan usaha yang bergerak di bidang Produksi Jahe Instan, Bu Ika mengeluarkan modal untuk pembelian bahan awal Rp 78.000,- . Harga yang dijual pada konsumen adalah Rp 2.500,- /bungkus.

  • PENGRAJIN KOLOTOK

    Usaha ini bergerak di bidang pengrajin kolotok, Bapak Manta mengeluarkan modal yang digunakan untuk pembelian bahan awal Rp 220.500,-. Harga yang dijual pada konsumen bermacam-macam tergantung bentuk kolotoknya.

  • RAGINANG

    Usaha ini merupakan usaha yang bergerak di bidang produksi Raginang, Ibu Elis mengeluarkan modal untuk pembelian bahan awal Rp 51.000,-. Harga yang dijual pada konsumen adalah Rp 12.000,- /bungkus (mentah) sedangkan yang matang Rp 7.000,- /bungkus.

  • KUE SALJU DAN KUE KACANG

    Usaha ini merupakan usaha yang bergerak di bidang Produksi Kue, Ibu Ika mengeluarkan modal yang digunakan untuk pembelian bahan awal Rp 156.000,- . Harga yang dijual pada konsumen adalah Rp 20.000,- /toples.

Jumat, 01 Maret 2013

Social Maping

Posted by Ungkal Handycraft on 17.38 with No comments
Social Maping
( Teknik memahami Suatu Masyarakat atau Komuniti )

Oleh:
Dr. Dede Jajang Suyaman, MM.
Dosen Pembimbing Lapangan KKU Desa Ungkal Kecamatan Conggeang 

Penelitian Sosial
pada dasarnya tingkah laku manusia terwujud dalam suatu kenyataan menggambarkan suatu keajegan yang berpola yang muncul secara berkala sehingga dapat dipahami sebagai suatu fenomena yang tetap.
Penelitian sosial, usaha untuk menyelidiki, menggambarkan, menganalisis dan mendeskripsikan pola pola yang membentuk akibat dari ulah manusia itu sendiri, yang pada dasarnya menjadikannya sebagai pedoman untuk bertindak dan bertingkah laku.

Masalah Sosial
1. Sesuatu yang secara luas dipertimbangkan sebagai suatu yang " jejek atau buruk " dari suatu hal kejadian atau tindakan.
2. Melibatkan jumlah orang yang banyak, ( dalam hal ini komuniti / masyarakat atau organisasi atau kumpulan orang yang memiliki keterikatan baik secara moral hukum atau administrasi )
3. Sering walapun tidak selalu dirasakan telah memberikan kerugian bagi masyarakat atau kelompok tertentu.

Observasi Partisipasi
Mac and Ghaill ( 1994 ) observasi partisipasi adalah sebuah cara pengumpulan data dengan ikut serta dalam kehidupan sehari hari suatu komuniti atau pihak yang menjadi objek penelitian.
cara pendekatannya adalah si peneliti mencoba untuk masuk dalam kehidupan sosial dan melakukan kegiatan interaksi sehari hari yang dilakukan bersama dengan komuniti yang menjadi sasaran penelitiannya, terlibat dalam percakapan untuk bisa memahami dan menemukan serta meninterpretasikan situasi dimana peneliti terlibat di dalamnya.

Prinsip Prinsip Observasi Partisipasi
1. Lama Penelitian
2. Kedekatan Hubungan
3. Penentuan dan Pengaturan Peran
4. Mewujudkan Tindakan
5. Perubahan Peran dalam Interaksi
6. Teknik Pencatatan
7. Kerahasiaan

Etika dalam Observasi Partisipasi
1. Terhadap mereka yang diteliti atau dikaji
2. Terhadap Umum
3. Terhadap Disiplin Keilmuan
4. Terhadap Sponsor yang memberikan dana penelitian
5. Terhadap Pemerintah Sendiri
6. Terhadap pemerintah dimana penelitian dilakukan

Pemetaan Jaringan Sosial
Kedushin ( 2004 ) 3 ( tiga ) Jaringan :
1. Ego-Centric
" Sebuah jaringan yang berhubungan dengan model tunggal atau individu "
2. Social-Centric
" Sebuah Kotak yang isinya berbagai bentuk jaringan "
3. Open System
" Batasan yang tidak dianggap penting "

Tipe-Tipe Jaringan Sosial
ATRIBUT "Dalam hal ini jaringan antar individu dalam komuniti yang sudah ditentukan berdasarkan atribut tertentu yang melekat pada komuniti tersebut, seperti : jenis kelamin, status sosial, dan keluarga"
TRANSAKSIONAL "Jaringan sosial dalam model ini, akan fokus pada jenis bentuk pertukaran yang tertentu yang terjadi antar individu dalam komuniti tersebut, seperti ; pertukaran informasi tertentu, pertukaran barang atau jasa tertentu, upaya dalam mempengaruhi dan lain sebagainya."

Langkah Langkah dalam Pemetaan Jaringan Sosial
1. Tentukan terlebih dahulu, kelompok kelompok utama dari komuniti yang dapat mewakili pranata pranata sosial yang akan diamati, dalam sebuah masyarakat.
2. Tentukan batas komuniti, yang menjadi wilayah peneliti. Beri tanda batas wilayah pengamatan tersebut.
3. Tanyakan dan amati, bentuk hubungan antar mereka, hal hal apa saja yang mereka pertukarkan, buat daftar dari tipe tipe yang dipertukarkan tersebut berdasarkan gender, ( laki laki perempuan, tua dan muda )
4. Gambarkan hubungan tersebut dalam sebuah kertas, gunakan pensil warna atau spidol untuk membedakan bentuk pertukaran atau hubungan tertentu yang terjadi antar komuniti atau objek yang diamati tersebut.

Kamis, 28 Februari 2013

Poyok Ungkal

Posted by Ungkal Handycraft on 18.16 with No comments
Dalam berbahasa, masyarakat Sunda wilayah Priangan, sering dianggap teu tegel, tidak biasa menyatakan sesuatu secara ceplak pahang, poksang atau togmol (langsung pada sasaran yang dimaksud). Dalam mengutarakan maksud dan tujuannya, mereka cenderung menggunakan ungkapan yang malibir atau malapah gedang, supaya tidak nerag, yang berakibat menyinggung perasaan yang diajak bicara.

“Poyok Ungkal” (Gaya sindiran orang Ungkal memang berbeda dengan gaya pada umumnya) 

Representasi dari fenomena malibir itu akan kita temukan di masyarakat Ungkal Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang. Namun sayang, kebiasaan malibir ini sering disalahtatsirkan teruatama oleh pihak diluar dengan label “negatif” yakni: poyok atau cegek. Mungkin mereka (orang luar) memaknai poyok berdasarkan arti kamus, yakni sebagai ungkapan yang berisi hinaan atau nyawad (menyindir), sehingga dikenal dengan poyok/cegek Ungkal. Akibatnya masyarakat Ungkal sering dicap sebagai suatu komunitas yang suka membuat gara-gara.

Justru yang bikin gara-gara itu pada dasarnya adalah orang luar itu sendiri yang bertanya tentang keberadaan poyok tersebut. Bagi orang Ungkal pertanyaan itulah yang bikin gara-gara “ngusik-ngusik ula mandi, ngagugahkeun macan turu” (menggangu ular yang sedang mandi dan membangunkan macan tidur) yang artinya memancing sehingga bangkit amarahnya. Maka jangan aneh bila ada yang bertanya pasti akan “dibekelan” poyok. Objek yang di-poyok-nya itu tidak akan pandang bulu, apakah rakyat atau pejabat, dari yang mahiwal hingga yang normal., pria maupun wanita, nu kasep atau nu goring, mereka akan dibekelan secara mereta.

Masyarakat Ungkal sebenarnya merupakan suatu komunitas yang mengedepankan harmoni, toleran, dan saling menghargai sesama, baik sesama warga termasuk terhadap pendatang. Namun akibat kuatnya opini negatif tersebut, sikap-sikap yang baik itu seolah-olah terhapus begitu saja, menyebarkan wacana negatif di kawasan Sumedang dan sekitarnya tentang poyok Ungkal itu diindikasikan karena perbedaan persepsi mengenai konsep poyok itu sendiri. Berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku yang dianggap pewaris aktif (active bearer) poyok Ungkal, diperoleh keterangan bahwa konsep poyok/moyok harus dibedakan dengan konsep moyokan.
Bagi masyarakat Ungkal, konsep poyok adalah satu bentuk kreativitas tradisonal yang menggambarkan apa yang dikomentarinya secara simbolis, dengan maksud untuk kepentingan “mengasah” (menguji) seseorang, seberapa surti (paham) yang di-poyok mampu memaknainya. Ada kebanggan tersendiri dengan kemahiran poyok tersebut, karena bagi mereka kemahiran dengan memainkan kata dengan diksi yang nyamuni pertanda orang itu memiliki “kecerdasan” tinggi. Dalam pandangan mereka konsep poyok/moyok itu identik dengan kesenian Sunda, seperti halnya sisindiran (pantun) maupun wawangsalan (pantun 2 baris). Sedangkan istilah atau konsep moyokan mempunyai pengertian menghina dan biasanya diekspresikannya secara ceplak pahang (langsung), seperti lewat kata Si Beke (Si Cebol), Si Jeding (si Bibir Tebal), Si Leststreng (Si Hitam Legam), dsb.

Munculnya poyok biasanya secara spontan, spontanitas itu sebagai respons terhadap stimulus berupa pertanyaan, maka secepat kilat orang yang ditanya itu akan menelisik kekurangan atau “kelebihan” yang ada dalam penampilan (fisik) termasuk cara berpakaian di penanya (pendatang). Menururt Allan dan Burridge (1991) kebiasaan itu merupakan gejala disfemisme (dysphemisme).

Gaya sindiran orang Ungkal memang berbeda dengan gaya pada umumnya, poyok-nya menggunakan diksi dengan analogi yang memiliki kesan harfiah “jauh” dari objek yang disindirnya, terutama bagi orang yang tidak surti (paham). Objek sindirannya biasanya sangan tersembunyi karena bersifat metaforikal (kiasanan), mirip dengan teka-teki. Akibatnya, tidak sedikit orang disindirnya tidak bereaksi apa-apa karena tidak sadar atau kurang “paham” terhadap makna sindiran tersebut. Makna sindirannya mungin tidak akan pernah terpamahi atau baru terkuak beberapa waktu kemudian setelah dipikirkan secara mendalam adan/atau mungkin dikonfirmasikan dengan \warga masyarakat setempat. Ketika maknanya terungkap, baru si tersendir tereprangah dan sadar bahawa ia telah kena sindir. Sebagai bentuk folklor, makan sindiran yang terkuak itu dapat sangan menyakitkan, nyelekit kana ati, nyentug kana jajantung (menyentuh relung hati yang paling dalam). Menurut Danandjaja (1994), hal yang utama dari folklor itu mengungkapkan kepada kita, baik disaadari atau tidak, bagaimana folkjnya berpikir. Selain itu, folklor juga mengabadikan apa-apa yang dirasakan penting (dalam suatu waktu) oleh folk pendukungnnya.

Apakah orang Ungkal sendiri suka saling poyok? Tentu saja. Poyok itu biasanya muncul dalam suasana informal, terutam saat warga berkumpul dan ngobrol bersama dalam pertemuan dengan suasana santai, seperti warung kopi, saat berkumpul di depan sebuah rumah, gardu ronda atau saat menunggu giliran di tempat pemandian umum, dsb. Bila sudah saling poyok suasana biasanya akan menjadi cair dan akrab, penuh gelak tawa. Dari kebiasaan moyok itu sampai saat ini belum terdengar adanya dapamak buruk.

Pengungkapan makna moyok Ungkal dapat ditelusuri melalui simbol (analogi) suatu cara yang lazim digunakan oleh pemakai ( si pe-moyok) agar maksud dari poyok itu tidak kasar (nerag/neuhak). Lebih jauh lagi, si pe-moyok memberikan semacam “PR” untuk menguji kecerdasan apakah si ter-poyok memahami maksud dan makna poyok-an, termasuk mampu menimpalinya.

Ditinjau dari unsur kesejarahan, sulit ditentukan atau dilacak, kapan dan siapa yang memulai serta mengapa tradisi moyok muncul di Desa Ungkal ini. Ketika dicoba ditalenteng, pada umumnyya masyarakat menyatakan tidak tahu. Mereka cukup dengan mengatakan tos kitu bae ti dituna! Naum bila melihat artefak berupa kuburan kahot (tua) yang ada di tengah-tengah desa tersebut akan ditemukan nisan dengan nama: Mbah Puragati, Mbah Jerad, Mbah Rangit, Mbah Nayapatra, Mbah Karapyak, Mbah Lebe, Mbah Gombak, Mbah Nyi Mas Gedeng Larang Tanjung Bang, dan Mbah Raden.

Kita hanya menduga dengan mengidentifikasi nama-nama itu, jangan-jangan mereka yang dipemdem di dalamnya merupakan pelarian tentara Mataram yang bersembunyi. Logikanya, mereka sebagai pelarian tentu harus pintar menyembunyikan jati diri, sehingga semua ahrus serba simbolis (disamarkan). Kemudian bila kita menelusuri kata ‘ungkal” ternyata berasal dari bahasa Jawa dari kata “wungkal” yang berarti batu asahan. Oleh karena itu, besar kemungkinan munculnya moyok/poyok tujuannya untuk “mengasah” (menguji) seseorang sesuai dengan arti ungkal itu sendiri. Seberapa surti (paham) yang dipoyok mampu memaknainya.

Kue Salju dan Kue Kacang

Posted by Ungkal Handycraft on 17.19 with No comments
Tempat/Lokasi    : Dsn.Sukahaji RT 02/02 Ds. Ungkal Kec. Conggeang
Pemilik                : Ibu Ika
Narasumber        : Ibu Ika

Usaha ini merupakan usaha yang bergerak di bidang Produksi Kue, Ibu Ika mengeluarkan modal yang digunakan untuk pembelian bahan awal Rp 156.000,- . Harga yang dijual pada konsumen adalah Rp 20.000,- /toples.









Raginang

Posted by Ungkal Handycraft on 11.11 with No comments
Tempat/Lokasi    : Dsn.Sukahaji Ds. Ungkal Kec. Conggeang
Pemilik                : Ibu Elis   
Narasumber        : Ibu Elis

Usaha ini merupakan usaha yang bergerak di bidang produksi Raginang, Ibu Elis mengeluarkan modal untuk pembelian bahan awal Rp 51.000,-. Harga yang dijual pada konsumen adalah Rp 12.000,- /bungkus (mentah) sedangkan yang matang Rp 7.000,- /bungkus.